Suku Rongga. Salah satu suku yang mungkin bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia belum mengenal suku bangsa yang satu ini. Suku Rongga mendiami kabupaten Manggarai Timur provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dalam beberapa informasi tentang Nusa Tenggara juga, hampir tidak pernah menyebut tentang suku Rongga, yang pernah disebut hanyalah tentang Manggarai, tapi tidak menyebut tentang keberadaan suku Rongga. Walaupun nyaris luput dari perhatian publikasi, namun masyarakat suku Rongga tetap antusias dalam mengungkapkan keberadaan mereka, juga sejarah, budaya dan kesenian serta kedaulatan wilayah suku Rongga di masa lalu.
Suku Rongga mendiami daerah sebelah selatan kabupaten Manggarai Timur. Mereka memiliki budaya yang unik, begitu juga bahasanya. Selain itu suku Rongga juga memiliki sejarah kebesaran peradaban sejak di masa lalu. Wilayah suku Rongga meliputi Kisol, Waelengga dan sebagian dari luas kecamatan kota Komba dan kecamatan Borong. Wilayah kedaualatan suku ini di sebelah Timur berbatasan dengan Wae Mokel dan di bagian Barat berbatasan dengan Wae Musur (Sita). Sementara di utara berbatasan dengan suku Mendang Riwu, suku Manus dan suku Gunung.
Sejarah Masa Lalu
Sebelum kerajaan Todo mengadakan ekspansi besar-besaran ke wilayah Timur, daerah ini sudah dikuasai orang Rongga selama berabad-abad. Kedatangan suku Keo dari Selatan Barat Laut tidak serta-merta menggeser peran sentral orang Rongga di wilayah ini. Sekitar abad 12 dan 13 terjadi pergolakan besar di mana Suku Rongga di bawah pimpinan suku Motu Poso mengusir sejumlah orang Keo yang datang dan hendak menguasai wilayah ini. Pertempuran itu berhasil mengusir pulang orang Keo. Sebagian yang terdesak melarikan diri ke arah Barat Melo, wilayah kecil yang berbatasan dengan dengan Iteng di Manggarai Tengah.
Di masa lalu, terdapat suku Keo yang mendiami wilayah Melo, kemudian suku Keo melakukan kontak hubungan dengan suku Todo dan menyatakan wilayah Rongga sebagai daerah kekuasaannya, sehingga dengan suku Todo pun menamakan wilayah ini dengan nama Kerajaan Adak Tanah Dena. Padahal dirunut dari sejarah, suku Keo adalah sebagai pendatang di wilayah Rongga. Tapi lama kelamaan suku Todo pun merasa terganggu dengan kehadiran suku Keo yang mengklaim wilayah Rongga sebagai daerah kekuasaan suku Keo. Selain itu suku Keo juga tidak berkenan di hadapan adat istiadat Manggarai, akibatnya suku Todo menyerang dan mengusir suku Keo di wilayah Melo, yang membuat suku Keo mulai terdesak.
Ekspansi suku Todo sekitar abad 18, mendapat dukungan dari suku Rongga yang antipati kepada suku Keo. Strategi perkawinan yang dilakukan suku Todo dengan suku Rongga semakin membuka jalan bagi suku Todo melebarkan kekuasaannya di wilayah ini. Dalam kisah lisan yang berkembang di Tanah Rongga, konon, mula-mula suku Todo memberikan gadis bernama Dhari kepada Tuan Tanah yang menguasai wilayah Rongga Barat (Rongga Ma’bha). Setelah perkawinan, terjadi ikatan kekerabatan di antara mereka. Suku Todo menyewa salah satu suku kecil di Rongga Ma’bha, untuk mewujudkan rencana besarnya menaklukkan Komba, Rongga Timur atau yang lebih dikenal dengan sebutan Rongga Ruju. Strategi ini pun berhasil.
Upaya suku Todo mengembangkan wilayahnya hingga Watu Jaji pun berjalan lancar karena mendapat bantuan dari suku Rongga yang sudah mengenal karakter dan topografi wilayah Ngada. Namun, dalam kisah penaklukan Todo terhadap Ngada hingga Watu Jaji nyaris tak pernah diungkapkan peran dua pahlawan Rongga Nai Pati dan Jawa Tu’u. Dua sosok ini konon menjadi tokoh sentral yang berperan memperkuat pasukan Todo menaklukkan Cibal.
Suku Todo menanamkan pengaruhnya di wilayah Manggarai dengan membentuk pemerintahan kedaluan yang kemudian berlanjut dengan UU NO. 5/ 1979 tentang Pemerintahan Desa membuat pemerintahan adat di wilayah Manggarai tergeser. Perubahan itu ternyata diikuti dengan proses penaklukan budaya ke wilayah Rongga. Setidaknya hal itu tampak terasa dalam beberapa ikon budaya Rongga yang terancam punah, seperti pakaian adat Rongga, aksen penyebutan nama beberapa tempat yang berubah, seperti Mboro menjadi Borong, Tanah Rongga menjadi Golo Mongkok dan lain-lain. Hampir selama 100 tahun orang Rongga tak sadar kehilangan identitas budayanya di bawah dominasi suku Todo.
Kebudayaan
Salah satu kebudayaan suku Rongga yang masih bertahan hingga saat ini, adalah Tarian Vera. Tarian ini hanya dimiliki oleh suku Rongga, dan tidak dimiliki dalam budaya Manggarai maupun budaya Flores umumnya. Gerakannya yang khas serta pertunjukkannya yang hanya berlangsung secara aksidental membuat generasi masa kini banyak yang tidak menguasainya. Masuknya berbagai budaya dari luar turut mempengaruhi kelestarian Tari Vera ini di kalangan generasi muda suku Rongga.
Kebijakan Pemerintah Daerah Manggarai, turut mempengaruhi memudarnya beberapa simbol budaya suku Rongga, yang terkesan menyeragamkan begitu saja kearifan dan keunikan budaya lokal yang berada di wilayah Rongga ke dalam satu budaya bernama Manggarai. Pengalaman sejarah ini bagi orang Rongga adalah suatu yang cukup pahit untuk dikenang.
Penyebab lain, akibat kurangnya masyarakat suku Rongga mendapat pendidikan sampai ke jenjang tertinggi. Pada tahun 70, hanya ada 1 orang Rongga yang berhasil menyandang gelar Sarjana. Tahun 80, hanya berkisar sekitar 5 sampai 10 orang sarjana. Periode tahun 90 hingga kini, barulah bermunculan banyak sarjana-sarjana orang Rongga, yang diharapkan bisa mengembalikan dan mengangkat budaya suku Rongga.
Dari sebuah sumber, mengatakan tentang asal usul dan sejarah suku Rongga, terdapat perbedaan budaya dan kesenian antara orang Rongga dengan budaya Manggarai maupun Ngada. Selanjutnya dikatakan banyak banyak temuan yang cukup mencengangkan, di antaranya tentang peradaban Rongga yang tersisa sejak zaman batu, situs-situs peninggalan perang maupun filsafatnya yang cukup kokoh sebagai pegangan hidup pada orang Rongga di masa lalu.
sumber:
Dalam beberapa informasi tentang Nusa Tenggara juga, hampir tidak pernah menyebut tentang suku Rongga, yang pernah disebut hanyalah tentang Manggarai, tapi tidak menyebut tentang keberadaan suku Rongga. Walaupun nyaris luput dari perhatian publikasi, namun masyarakat suku Rongga tetap antusias dalam mengungkapkan keberadaan mereka, juga sejarah, budaya dan kesenian serta kedaulatan wilayah suku Rongga di masa lalu.
Suku Rongga mendiami daerah sebelah selatan kabupaten Manggarai Timur. Mereka memiliki budaya yang unik, begitu juga bahasanya. Selain itu suku Rongga juga memiliki sejarah kebesaran peradaban sejak di masa lalu. Wilayah suku Rongga meliputi Kisol, Waelengga dan sebagian dari luas kecamatan kota Komba dan kecamatan Borong. Wilayah kedaualatan suku ini di sebelah Timur berbatasan dengan Wae Mokel dan di bagian Barat berbatasan dengan Wae Musur (Sita). Sementara di utara berbatasan dengan suku Mendang Riwu, suku Manus dan suku Gunung.
Sejarah Masa Lalu
Sebelum kerajaan Todo mengadakan ekspansi besar-besaran ke wilayah Timur, daerah ini sudah dikuasai orang Rongga selama berabad-abad. Kedatangan suku Keo dari Selatan Barat Laut tidak serta-merta menggeser peran sentral orang Rongga di wilayah ini. Sekitar abad 12 dan 13 terjadi pergolakan besar di mana Suku Rongga di bawah pimpinan suku Motu Poso mengusir sejumlah orang Keo yang datang dan hendak menguasai wilayah ini. Pertempuran itu berhasil mengusir pulang orang Keo. Sebagian yang terdesak melarikan diri ke arah Barat Melo, wilayah kecil yang berbatasan dengan dengan Iteng di Manggarai Tengah.
Di masa lalu, terdapat suku Keo yang mendiami wilayah Melo, kemudian suku Keo melakukan kontak hubungan dengan suku Todo dan menyatakan wilayah Rongga sebagai daerah kekuasaannya, sehingga dengan suku Todo pun menamakan wilayah ini dengan nama Kerajaan Adak Tanah Dena. Padahal dirunut dari sejarah, suku Keo adalah sebagai pendatang di wilayah Rongga. Tapi lama kelamaan suku Todo pun merasa terganggu dengan kehadiran suku Keo yang mengklaim wilayah Rongga sebagai daerah kekuasaan suku Keo. Selain itu suku Keo juga tidak berkenan di hadapan adat istiadat Manggarai, akibatnya suku Todo menyerang dan mengusir suku Keo di wilayah Melo, yang membuat suku Keo mulai terdesak.
Ekspansi suku Todo sekitar abad 18, mendapat dukungan dari suku Rongga yang antipati kepada suku Keo. Strategi perkawinan yang dilakukan suku Todo dengan suku Rongga semakin membuka jalan bagi suku Todo melebarkan kekuasaannya di wilayah ini. Dalam kisah lisan yang berkembang di Tanah Rongga, konon, mula-mula suku Todo memberikan gadis bernama Dhari kepada Tuan Tanah yang menguasai wilayah Rongga Barat (Rongga Ma’bha). Setelah perkawinan, terjadi ikatan kekerabatan di antara mereka. Suku Todo menyewa salah satu suku kecil di Rongga Ma’bha, untuk mewujudkan rencana besarnya menaklukkan Komba, Rongga Timur atau yang lebih dikenal dengan sebutan Rongga Ruju. Strategi ini pun berhasil.
Upaya suku Todo mengembangkan wilayahnya hingga Watu Jaji pun berjalan lancar karena mendapat bantuan dari suku Rongga yang sudah mengenal karakter dan topografi wilayah Ngada. Namun, dalam kisah penaklukan Todo terhadap Ngada hingga Watu Jaji nyaris tak pernah diungkapkan peran dua pahlawan Rongga Nai Pati dan Jawa Tu’u. Dua sosok ini konon menjadi tokoh sentral yang berperan memperkuat pasukan Todo menaklukkan Cibal.
Suku Todo menanamkan pengaruhnya di wilayah Manggarai dengan membentuk pemerintahan kedaluan yang kemudian berlanjut dengan UU NO. 5/ 1979 tentang Pemerintahan Desa membuat pemerintahan adat di wilayah Manggarai tergeser. Perubahan itu ternyata diikuti dengan proses penaklukan budaya ke wilayah Rongga. Setidaknya hal itu tampak terasa dalam beberapa ikon budaya Rongga yang terancam punah, seperti pakaian adat Rongga, aksen penyebutan nama beberapa tempat yang berubah, seperti Mboro menjadi Borong, Tanah Rongga menjadi Golo Mongkok dan lain-lain. Hampir selama 100 tahun orang Rongga tak sadar kehilangan identitas budayanya di bawah dominasi suku Todo.
Kebudayaan
tari Vera |
Kebijakan Pemerintah Daerah Manggarai, turut mempengaruhi memudarnya beberapa simbol budaya suku Rongga, yang terkesan menyeragamkan begitu saja kearifan dan keunikan budaya lokal yang berada di wilayah Rongga ke dalam satu budaya bernama Manggarai. Pengalaman sejarah ini bagi orang Rongga adalah suatu yang cukup pahit untuk dikenang.
Penyebab lain, akibat kurangnya masyarakat suku Rongga mendapat pendidikan sampai ke jenjang tertinggi. Pada tahun 70, hanya ada 1 orang Rongga yang berhasil menyandang gelar Sarjana. Tahun 80, hanya berkisar sekitar 5 sampai 10 orang sarjana. Periode tahun 90 hingga kini, barulah bermunculan banyak sarjana-sarjana orang Rongga, yang diharapkan bisa mengembalikan dan mengangkat budaya suku Rongga.
Dari sebuah sumber, mengatakan tentang asal usul dan sejarah suku Rongga, terdapat perbedaan budaya dan kesenian antara orang Rongga dengan budaya Manggarai maupun Ngada. Selanjutnya dikatakan banyak banyak temuan yang cukup mencengangkan, di antaranya tentang peradaban Rongga yang tersisa sejak zaman batu, situs-situs peninggalan perang maupun filsafatnya yang cukup kokoh sebagai pegangan hidup pada orang Rongga di masa lalu.
sumber:
sumber foto:
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteDengan hanya minimal deposit 50.000 IDR sudah bisa bermain di game online kami untuk pendaftaran di berikan GRATIS tanpa deposit awal hanya dengan mengisi data diri dengan lengkap,Kami Menyediakan Berbagai Permainan Online Info Lebih Lanjut Bisa Hub kami Di :
ReplyDeleteNoted : Menangkan Samsung Note 8 64GB BNIB dan Iphone X 256 GB BNIB Hanya Dengan Bermain Poker Di AnAPoker
Hubungi Kami Sekarang Juga !!!!
BBM : D8B84EE1 atau AGENS128
WA : 0877-8922-1725
Ayo tunggu apalagi !!!!!! ..