Legenda Asal Usul Danau Toba

Danau Toba, salah satu danau terbesar di pulau Sumatra, selain itu danau ini juga sebagai danau terbesar di Indonesia. Selain besar danau ini juga sangat terkenal dengan keindahannya serta keunikan beragam dari etnis yang menghuni pulo Samosir dan sekitar danau Toba, sehingga banyak dikunjungi oleh wisatawan dari segala penjuru wilayah Indonesia hingga wisatawan dari manca negara. Danau Toba memiliki sejumlah cerita rakyat yang berasal dari beberapa etnis yang berdiam di sekitar danau. Di sekitar danau Toba dihuni oleh beberapa etnis batak seperti Toba, Samosir, Pakpak, Karo dan Simalungun. Mereka menghuni pesisir danau Toba sudah sejak ribuan tahun yang lalu dan mengklaim diri mereka sebagai penduduk asli wilayah ini. Sedangkan yang menghuni pulau di tengah-tengah danau, yaitu pulo Samosir adalah suku Batak Toba dan suku Batak Samosir. Sedangkan sebuah pulau lagi yang berukuran kecil tidak memiliki penduduk, tapi terdiri beberapa rumah penginapan bagi wisatawan.

Sebuah cerita yang berasal dari penduduk setempat di pulo Samosir menceritakan bagaimana awal terjadinya danau Toba. Cerita ini hanyalah sebuah cerita rakyat yang tersimpan dan tetap terpelihara dengan baik di kalangan masyarakat batak di pulo Samosir.

danau Toba dan pulau Samosir di tengah danau
Di sebuah desa hidup seorang petani. Ia adalah seorang petani yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. "Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar", gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.

Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan. "Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi memakanku". Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita. "mimpikah aku ini ?", gumam petani.
"Jangan takut, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan", kata gadis itu. "Namaku Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu", kata gadis itu seolah mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.
Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama petani tersebut. "bah! jangan-jangan dia itu bidadari dari langit!", kata mereka. Petani merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. "Aku tahu Petani itu pasti memelihara makhluk halus! " kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan semakin rajin bekerja.

Setahun kemudian, kebahagiaan si petani dan istri bertambah, karena istri si petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Kebahagiaan mereka tidak membuat mereka lupa diri. Anak mereka tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.
Lama kelamaan, Putera nya selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri petani selalu mengingatkan agar bersabar atas ulah anak mereka. "Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!" katanya kepada sang istri. "Syukurlah, abang berfikiran seperti itu. Abang memang seorang suami dan ayah yang baik", puji istrinya.

Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh petani itu. Pada suatu hari, sang anak mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi sang anak tidak memenuhi tugasnya. Sang petani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Dilihatnya sang anak sedang bermain. Si petani menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. "anak tak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !", umpat si petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.
Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa mereka dan desa sekitarnya terendam air bah. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama danau Toba. Sedangkan pulau di tengahnya dikenal dengan nama pulau Samosir.

4 comments: